First
Impression
Ketika
Aku Melihatmu
Waktu
terus berjalan seakan tak peduli dengan harapan yang masih memanggil-manggil
untuk terpenuhi. Matahari tetap melaksanakan tugasnya untuk menerangi dunia,
pun dengan angin yang masih setia membelai setiap insan yang sedang melewati
hari-harinya. Terlihat diatas sebuah dahan yang kurus, sepasang burung merpati
sedang memadu kasihnya, membuatku tersenyum melihatnya.
Memory
itu berputar kembali, menitik beratkan pada seorang lelaki yang telah
menggoreskan sebuah rasa yang aneh dihatiku. Ia telah membuka sebuah pintu baja
yang telah ku tutup dan kubuang kuncinya entah kemana. Namun ia seperti tukang reparasi, yang siap
sedia membuat duplikat kunci itu kapanpun aku mau. Dia, laki-laki yang aku
temui beberapa minggu yang lalu saat acara kampus.
“Maaf kak, toilet deket disini dimana ya? Aku males
ke toilet jurusan” tanyaku saat itu.
“Maba ya? Toiletnya di sebelah kanan Sekber ya dik”
ucapnya seraya menyunggingkan senyum yang membuatku tak bisa melupakan
lengkungannya hingga saat ini.
“Iya kak, makasih ya”
“Sama-sama dik”
Sejak
percakapan singkat dan tak penting itu, aku selalu memikirkannya. Aku selalu
teringat senyumnya yang menawan ditambah sepasang lesung pipi yang
menyempurnakan kerupawanannya. Setiap hari setelah malam itu aku selalu mencari
tahu tentang dirinya. Bahkan ketika aku berpapasan dengannya, aku tak kuasa
menahan rona dipipiku, walaupun aku sadar ia takkan pernah tahu semuanya.
Selalu
aku berharap, sedetik saja ia mengingat tentang pertemuan kami yang singkat
itu. Namun mengapa setiap kami berpapasan ia tak pernah menoleh kearahku? Bodohnya
aku selalu mentapnya hingga tak sadar dengan keadaan disekelilingku. Apakah ini
cinta? Ah ya, cinta yang bertepuk sebelah tangan, dan parahnya aku hanya si
Screet Admier yang tak berani melakukan apapun untuk cintaku, aku terlalu
pengecut untuk memulai terlebih dahulu. Bisa sajakan aku mulai menyapanya
setiap kali kami berpapasan? Namun kenyataannya, ketika kami berpapasan aku
hanya bisa diam terpaku menatap kepergiannya.
“Kamu jangan cuma berani liat dia dari jauh aja dong
Wis, kapan mau kenalnya kalo cuma jadi Screet Admier kayak gini? Nanti dia
disamber orang duluan loh!” ucap Sita dengan menggebu-gebu. Ya, aku tahu bukan
maksudnya meremehkanku, namun dia berusaha menyemangatiku agar mau mengubah
mainsetku dalam mengagumi lelaki itu.
“Aduh Ta, bukannya aku gak mau. Aku pingin banget
malah, tapi apa aku berani? Apa dia gak akan Ilfeel kalo aku nyapa dia duluan? Ah,
gak deh aku takut” Balasku dengan ucapan penuh keraguan.
“Ya, terserah sih. Tapi jangan nangis kalo besok
tiba-tiba dia gandeng perempuan lain” ancam Sita yang sukses membuat khayalanku
berkelana kehal-hal yang tak pernah aku impikan tersebut.
“Hah? Jangan dong! Aku masih pingin bebas naksir
sama dia tanpa mikirin dia punya pacar atau enggak. Emang sih aku egois, tapi
selama aku belum tahu dia udah ada yang punya atau belum, gak apa-apa kali ya
aku menghayal bisa jadi pacarnya? Hahaha” jawabku sambil berusaha mencairkan
kegundahan hati yang tiba-tiba saja menyerangku.
***
Hal
yang selama ini aku takutkan akhirnya terjadi. Kabar yang tak pernah ingin aku
dengar sampai juga ketelingaku. Kau tahu? Sakit rasanya ketika orang yang
selalu kau harapkan mengisi kekosongan hatimu telah mengisi hati orang lain. Rasanya
seperti tertusuk sebilah belati yang tajam, menghujam tepat dijantungku. Apa aku
terlalu berlebihan menyukai seseorang? Padahal logikanya kita tak pernah salah
dalam mencintai seseorang.
Ia
telah dimiliki oleh perempuan yang beruntung itu. Awalnya aku hanya mendengar
selentingan-selentingan yang aku anggap hanya angin lalu. Namun, ketika aku
menuju tempat parkir yang akhir-akhir ini menjadi tempat favoritku untuk mengintainya,
aku menemukannya tengah bergandengan tangan dengan perempuan itu. Tak sengaja
aku mendengar percakapannya yang semakin meremukkan hatiku.
“Aku sayang kamu bi” ucapnya jelas
“Aku juga sayang kamu bi” balas perempuan itu.
Dadaku
terasa sesak. Air mata terus mendesak ingin keluar dari sarangnya. Berusaha kutahan
sekuat aku bisa agar tak tumpah didepannya. Saat ia pergi, semuanya luluh
bersamaan dengan luka dihatiku. aku memang bukan siapa-siapa untuknya. Ya, aku
mengerti. Namun rasa ini sudah dipuncak dan tak terbendung. Aku telah membiarkannya
berkembang padahal aku tahu resiko yang akan aku hadapi.
Pertemuan
pertama dengannya telah membawa kesan yang mendalam untuk hidupku. Walaupun ia
tak pernah tahu tentang perasaanku, aku sangat bahagia bisa mencintainya. Cukup
bagiku dengan melihatnya dari jauh tanpa bisa menyentuhnya. Aku tak pernah
menyesal mencintainya. Dia tetaplah lelaki yang kupuja, lelaki yang telah
membuat hari-hariku lebih berwarna. Harapan itu hingga kini masih ada, aku
selalu berharap ia tahu tentang perasaanku, cukup itu jika aku tak bisa
memilikinya.
END
Cerpen By: Irma Arnika
Cerpen By: Irma Arnika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar