Di
Batas Senja
“Kamu
jadi ikut Ekskul Basket mon?” Tanya Dinda kepadaku saat kami sedang asik
menyantap mie ayam di Kantin.
“Yoi!
Aku ikutan supaya bisa liat kak Galang terus. Haahaha” jawabku sambil tetap
fokus mengunyah suapan terakhir mie ayamku.
“Halahh..
modus banget sih kamu Mon! Awas loh ya, nanti ujung-ujungnya patah hati”
“Bodoh
amat deh, yang penting bisa liat dia dari deket udah sesuatu banget hehehe”
“Terserah
sih, aku udah ngingetin kamu ya Mon”
“Iya
Dindaku sayang! Kamu tenang aja, aku rapopo kok hahaha”
Jarum pendek jam telah
berada di angka satu, dan jarum panjangnya berada di angka Sembilan. Itu
artinya jam kebebasan telah tiba. Pak Rudi telah mengemas barang-barang
keramatnya kedalam tas yang menjadi teman setianya. Semua siswa dikelas yang
sejak tadi telah menunggu saat-saat bel berdering menghembuskan nafas lega
bersamaan dengan senyum sumringah yang terukir disetiap sudut bibir siswa
dikelas ini.
Sama sepertiku, ini
adalah saat yang paling aku tunggu. Pukul tiga nanti aku harus kumpul untuk
pertemuan pertama siswa-siswi yang memilih Ekskul Basket. Itu berarti hari ini
aku akan bertemu dengan kak Galang. Pertemuan pertama mungkin hanya diisi
absensi dan pengenalan saja, namun inilah saatnya agar aku tahu sedikit informasi
tentang kak Galang, pujaan hatiku. Dengan riang aku langkahkan kaki menuju
toilet sekolah untuk mengganti seragam dengan baju kaus olahraga. Didalam
benakku saat ini sedang berputar berbagai Khayalan tentang kak Galang. Tanpa
aku sadari ternyata aku senyum-senyum sendiri dan baru kembali menginjak bumi
ketika sebuah percakapan menamparku.
“Kamu
yakin kak Galang naksir sama kamu Vi?” ucap seorang perempuan dibalik pintu
toiletku. Mereka mungkin baru masuk saat aku sedang mengganti baju didalam
toilet.
“Yakinlah,
dia BBM aku terus tahu. BBM nya itu care banget. Ya, kalo cowok udah kayak gitu
sih tandanya dia lagi ngasi sinyal PDKT sama aku hahaha” balas perempuan yang
dipanggil Vi tadi.
“Terus
kamu gak ikut Ekskul basket gitu supaya bisa lebih deket sama dia?”
“Gak
usah lagi, aku akan dapetin dia walaupun aku gak ikut Ekskul Basket” Nadanya
terdengar sangat angkuh ditelingaku.
Kata-kata perempuan tadi
seperti beton baja yang menghantam hatiku. Aku tahu, kak Galang memang popular
di Sekolah ini dan tentunya takkan sulit mendapatkan perempuan manapun yang ia
mau. Tapi mengapa aku merasa tak rela dengan kenyataan yang seperti ini?
Ditambah ucapan perempuan tadi yang dengan kePDannya yakin dia akan berhasil
menaklukkan hati kak Galang. Dengan malas aku membuka pintu toilet yang sejak
tadi menjadi tempat menguping, padahal aku sudah selesai mengganti seragam
ketika dua perempuan tadi bercakap-cakap. Semangatku sedikit mengendor karena
sudah ada yang mencuri startku untuk mendekati kak Galang. Jam telah menunjukkan
pukul setengah tiga. Ternyata aku menghabiskan waktu setengah jam untuk
mengganti seragam. Ini gara-gara obrolan mereka juga sih.
***
Seluruh anggota Ekskul
Baket telah berkumpul dilapangan kecuali kak Galang. Mataku sedari tadi
memperhatikan sekeliling lapangan untuk melihat kedatangan sosok pujaanku itu. Rata-rata
dari anggota Ekskul Basket adalah laki-laki. Terhitung hanya tujuh orang
perempuan yang ada di Lapangan ini. Semuanya juga sudah aku kenal, karena
mereka berasal dari jurusan yang sama dengaku. Sosok yang aku cari akhirnya
tiba. Ia menggunakan seragam olahraga yang pas dengan bentuk tubuhnya. Sepatu kets
putih menambah ketampanannya sore ini. Namun ketika sedang asik
memperhatikannya, dua sosok perempuan menyusul dibelakangnya, yang akhirnya aku
tahu mereka adalah perempuan yang meruntuhkan setengah harapanku untuk
mendapatkan kak Galang.
Perasaanku tiba-tiba
menjadi gundah. Ada sebuah kecemburuan yang menyeruak dilelung hatiku. Aku tak
rela jika benar kak Galang mendekati perempuan itu. Dia memang cantik dan tipe
perempuan ideal untuk kak Galang, namun salahkah aku jika aku berharap akulah
yang berada diposisinya?. Acara absensi dan perkenalan berlangsung dengan
menyenangkan, walaupun aku tak sepenuhnya menikmati acara yang aku tunggu-tunggu
ini. Saat kak Galang maju untuk memperkenalkan diri, ada sebuah kejadian yang
sukses mengahancurkan perasaanku.
“Viana,
aku suka kamu. Kamu maukan jadi pacarku?” teriak kak Galang dari tengah
lapangan sambil memandang kearah Viana -perempuan itu- dengan pandangan yang
penuh harap.
Diluar
lapangan, Viana bersedekap seolah-olah ia terkejut dengan pengakuan kak Galang.
Padahal aku tahu sebenarnya ia telah menduga hal seperti ini akan terjadi.
Suasana saat ini seperti drama-drama romantis di televisi, namun ini bukannya
romantis bagiku, justru sangat memuakkan. Aku benar-benar ingin menangis saat
ini. Air mataku telah terkumpul dititik paling rawan siap untuk tumpah. Sekuat
tenaga aku menahan semuanya agar tak menjadi hal memalukan ditengah suasana mendebarkan
ini.
Viana
berlari ketengah lapangan dan langsung memeluk kak Galang. Semua orang yang
berada dilapangan bertepuk tangan melihat adegan itu. Padahal mereka tak tahu,
ada aku yang benar-benar tersiksa dengan live drama yang sempurna itu. Aku tak tahu
yang selanjutnya terjadi karena aku asik berkelana bersama perasaanku sendiri.
Satu persatu orang pergi meninggalkan lapangan termasuk kedua artis yang kontroversial
tadi. Aku masih duduk termenung di tengah lapangan, menatap hampa langit senja
yang mulai menggiring mentari menuju dekapan-NYA.
Perlahan
air mataku terjatuh, bahuku terguncang bersamaan dengan isakan yang semakin
kencang. Badanku lemas, seluruh tenagaku terkuras untuk menangis. Aku memang
bodoh. Ya, aku tahu itu. Namun salahkah aku yang berharap lebih untuk kak
Galang?. Kini ia sudah dimiliki oleh orang lain. Apakah aku sanggup melihatnya
nanti? Apakah aku masih semangat untuk datang latihan Basket dan melihat
seseorang yang aku cintai didampingi oleh perempuan lain?. Aku tetap menangis
hingga kurasakan sebuah tangan mendekapku, aku tak tahu siapa dia, yang jelas
ini adalah tangan laki-laki. Ku tolehkan kepala kearah laki-laki yang sedang
memelukku. Betapa terkejutnya aku ketika aku tahu siapa laki-laki ini.
“Aku
tahu kamu suka kan sama Galang? Dari tadi waktu dia nembak Viana juga aku udah
perhatiin ada yang aneh dari kamu. Sampai tadi waktu aku mau pulang dan aku
lihat kamu tetap gak beranjak dari tempat dudukmu. Eh tahu-tahunya kamu nangis,
aku jadi bingung harus kayak gimana, yaudah aku biarin aja dulu kamu nangis
sampai kamu puas” ucapnya.
“Maaf
kak, kalo kakak sibuk bisa tinggalin aku sendiri disini. Aku perlu ketenangan”
sangkalku.
“Gak
mungkin aku biarin seorang perempuan diem ditengah lapangan sendirian
malem-malem gini. Udah banyak nyamuk, gelap lagi. Cuma laki-laki bodoh yang
membiarkan kamu dalam keadaan seperti ini” balasnya yang sukses menghangatkan
hatiku.
“Makasi
kak, tapi sekarang aku mau pulang. Maaf udah ngulur waktu kakak untuk pulang
dan justru nungguin aku nangis”
“Hahahaha
kamu lucu deh. No problem. Oh iya, kamu udah tahu kan aku siapa? Hehehe ya,
kalo tadi kamu dengerin waktu aku memperkenalkan diri”
“Yaudahlah
kak Deva masak kapten basket sendiri gak tahu? Malu-maluin banget aku. Cukup
dengan tertangkap basah nangisin pacar orang kak, itu udah memalukan banget”
ucapku dengan pandangan menerawang.
“Kita
memang gak pernah tahu dengan siapa kita akan jatuh cinta dan bagaimana cinta
kita nantinya. Tapi, setidaknya kita harus bersyukur bisa mencintai seseorang
yang dianugrahkan Tuhan untuk kita lihat. Jadi jangan pernah menyesal suka sama
Galang. Itu hak kamu kok ” balas Kak Deva yang saat ini sudah duduk
disampingku. Aku memaksakan diri untuk tersenyum. Bukan terpaksa sih, tapi ini
memang benar-benar tulus dari hatiku. Kata-kata kak Deva tadi menghangatkan
hatiku. Rasanya separuh beban yang tadi menjepitku perlahan terangkat.
Kami bercakap-cakap
kira-kira setengah jam. Kak Deva orangnya asik. Dia benar-benar seperti kakakku
sendiri yang selalu aku harapkan kehadirannya. Dia telah membuka mataku bahwa
jatuh cinta itu memang tak bisa direncanakan, namun harus kita nikmati manis
dan pahitnya. Jam menunjukkan pukul enam.
Waktu yang memang sudah telat untuk anak seusiaku pulang kerumah ditambah
bengkak akibat menangis tadi. Namun kak Deva menawarkan bantuan untuk
mengantarku pulang dan merancang beberapa kalimat agar meyakinkan orang tuaku.
Setelah ini aku tak tahu
apakah aku berhenti untuk mencintai kak Galang atau tetap menaruh hati
kepadanya. Apa aku mencoba mencintai orang lain saja ya? Aku tak mau nantinya
seperti punuk merindukan bulan. Toh masih banyak laki-laki diluar sana yang mau
menerima aku apa adanya. Jika aku selalu berharap akan sosok kak Galang, maka
yang aku dapatkan hanyalah kesakitan. Ya, aku harus mencoba memulainya dengan
orang lain. Mungkin kakak yang sedang memboncengku inilah orangnya. Kita tunggu
saja nanti. Yang jelas Senja yang aku kira menyakitkan ternyata adalah awal
kebahagiaanku. Di Batas Senja sepertinya aku telah menemukan penggantinya.
END
Cerpen by : Irma Arnika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar