Kamis, 30 Oktober 2014

Di Batas Senja

Di Batas Senja


“Kamu jadi ikut Ekskul Basket mon?” Tanya Dinda kepadaku saat kami sedang asik menyantap mie ayam di Kantin.
“Yoi! Aku ikutan supaya bisa liat kak Galang terus. Haahaha” jawabku sambil tetap fokus mengunyah suapan terakhir mie ayamku.
“Halahh.. modus banget sih kamu Mon! Awas loh ya, nanti ujung-ujungnya patah hati”
“Bodoh amat deh, yang penting bisa liat dia dari deket udah sesuatu banget hehehe”
“Terserah sih, aku udah ngingetin kamu ya Mon”
“Iya Dindaku sayang! Kamu tenang aja, aku rapopo kok hahaha”

                        Jarum pendek jam telah berada di angka satu, dan jarum panjangnya berada di angka Sembilan. Itu artinya jam kebebasan telah tiba. Pak Rudi telah mengemas barang-barang keramatnya kedalam tas yang menjadi teman setianya. Semua siswa dikelas yang sejak tadi telah menunggu saat-saat bel berdering menghembuskan nafas lega bersamaan dengan senyum sumringah yang terukir disetiap sudut bibir siswa dikelas ini.
                        Sama sepertiku, ini adalah saat yang paling aku tunggu. Pukul tiga nanti aku harus kumpul untuk pertemuan pertama siswa-siswi yang memilih Ekskul Basket. Itu berarti hari ini aku akan bertemu dengan kak Galang. Pertemuan pertama mungkin hanya diisi absensi dan pengenalan saja, namun inilah saatnya agar aku tahu sedikit informasi tentang kak Galang, pujaan hatiku. Dengan riang aku langkahkan kaki menuju toilet sekolah untuk mengganti seragam dengan baju kaus olahraga. Didalam benakku saat ini sedang berputar berbagai Khayalan tentang kak Galang. Tanpa aku sadari ternyata aku senyum-senyum sendiri dan baru kembali menginjak bumi ketika sebuah percakapan menamparku.
“Kamu yakin kak Galang naksir sama kamu Vi?” ucap seorang perempuan dibalik pintu toiletku. Mereka mungkin baru masuk saat aku sedang mengganti baju didalam toilet.
“Yakinlah, dia BBM aku terus tahu. BBM nya itu care banget. Ya, kalo cowok udah kayak gitu sih tandanya dia lagi ngasi sinyal PDKT sama aku hahaha” balas perempuan yang dipanggil Vi tadi.
“Terus kamu gak ikut Ekskul basket gitu supaya bisa lebih deket sama dia?”
“Gak usah lagi, aku akan dapetin dia walaupun aku gak ikut Ekskul Basket” Nadanya terdengar sangat angkuh ditelingaku.
                        Kata-kata perempuan tadi seperti beton baja yang menghantam hatiku. Aku tahu, kak Galang memang popular di Sekolah ini dan tentunya takkan sulit mendapatkan perempuan manapun yang ia mau. Tapi mengapa aku merasa tak rela dengan kenyataan yang seperti ini? Ditambah ucapan perempuan tadi yang dengan kePDannya yakin dia akan berhasil menaklukkan hati kak Galang. Dengan malas aku membuka pintu toilet yang sejak tadi menjadi tempat menguping, padahal aku sudah selesai mengganti seragam ketika dua perempuan tadi bercakap-cakap. Semangatku sedikit mengendor karena sudah ada yang mencuri startku untuk mendekati kak Galang. Jam telah menunjukkan pukul setengah tiga. Ternyata aku menghabiskan waktu setengah jam untuk mengganti seragam. Ini gara-gara obrolan mereka juga sih.
                       
                                                                        ***
                        Seluruh anggota Ekskul Baket telah berkumpul dilapangan kecuali kak Galang. Mataku sedari tadi memperhatikan sekeliling lapangan untuk melihat kedatangan sosok pujaanku itu. Rata-rata dari anggota Ekskul Basket adalah laki-laki. Terhitung hanya tujuh orang perempuan yang ada di Lapangan ini. Semuanya juga sudah aku kenal, karena mereka berasal dari jurusan yang sama dengaku. Sosok yang aku cari akhirnya tiba. Ia menggunakan seragam olahraga yang pas dengan bentuk tubuhnya. Sepatu kets putih menambah ketampanannya sore ini. Namun ketika sedang asik memperhatikannya, dua sosok perempuan menyusul dibelakangnya, yang akhirnya aku tahu mereka adalah perempuan yang meruntuhkan setengah harapanku untuk mendapatkan kak Galang.
                        Perasaanku tiba-tiba menjadi gundah. Ada sebuah kecemburuan yang menyeruak dilelung hatiku. Aku tak rela jika benar kak Galang mendekati perempuan itu. Dia memang cantik dan tipe perempuan ideal untuk kak Galang, namun salahkah aku jika aku berharap akulah yang berada diposisinya?. Acara absensi dan perkenalan berlangsung dengan menyenangkan, walaupun aku tak sepenuhnya menikmati acara yang aku tunggu-tunggu ini. Saat kak Galang maju untuk memperkenalkan diri, ada sebuah kejadian yang sukses mengahancurkan perasaanku.
“Viana, aku suka kamu. Kamu maukan jadi pacarku?” teriak kak Galang dari tengah lapangan sambil memandang kearah Viana -perempuan itu- dengan pandangan yang penuh harap.
Diluar lapangan, Viana bersedekap seolah-olah ia terkejut dengan pengakuan kak Galang. Padahal aku tahu sebenarnya ia telah menduga hal seperti ini akan terjadi. Suasana saat ini seperti drama-drama romantis di televisi, namun ini bukannya romantis bagiku, justru sangat memuakkan. Aku benar-benar ingin menangis saat ini. Air mataku telah terkumpul dititik paling rawan siap untuk tumpah. Sekuat tenaga aku menahan semuanya agar tak menjadi hal memalukan ditengah suasana mendebarkan ini.
Viana berlari ketengah lapangan dan langsung memeluk kak Galang. Semua orang yang berada dilapangan bertepuk tangan melihat adegan itu. Padahal mereka tak tahu, ada aku yang benar-benar tersiksa dengan live drama yang sempurna itu. Aku tak tahu yang selanjutnya terjadi karena aku asik berkelana bersama perasaanku sendiri. Satu persatu orang pergi meninggalkan lapangan termasuk kedua artis yang kontroversial tadi. Aku masih duduk termenung di tengah lapangan, menatap hampa langit senja yang mulai menggiring mentari menuju dekapan-NYA.
Perlahan air mataku terjatuh, bahuku terguncang bersamaan dengan isakan yang semakin kencang. Badanku lemas, seluruh tenagaku terkuras untuk menangis. Aku memang bodoh. Ya, aku tahu itu. Namun salahkah aku yang berharap lebih untuk kak Galang?. Kini ia sudah dimiliki oleh orang lain. Apakah aku sanggup melihatnya nanti? Apakah aku masih semangat untuk datang latihan Basket dan melihat seseorang yang aku cintai didampingi oleh perempuan lain?. Aku tetap menangis hingga kurasakan sebuah tangan mendekapku, aku tak tahu siapa dia, yang jelas ini adalah tangan laki-laki. Ku tolehkan kepala kearah laki-laki yang sedang memelukku. Betapa terkejutnya aku ketika aku tahu siapa laki-laki ini.
“Aku tahu kamu suka kan sama Galang? Dari tadi waktu dia nembak Viana juga aku udah perhatiin ada yang aneh dari kamu. Sampai tadi waktu aku mau pulang dan aku lihat kamu tetap gak beranjak dari tempat dudukmu. Eh tahu-tahunya kamu nangis, aku jadi bingung harus kayak gimana, yaudah aku biarin aja dulu kamu nangis sampai kamu puas” ucapnya.
“Maaf kak, kalo kakak sibuk bisa tinggalin aku sendiri disini. Aku perlu ketenangan” sangkalku.
“Gak mungkin aku biarin seorang perempuan diem ditengah lapangan sendirian malem-malem gini. Udah banyak nyamuk, gelap lagi. Cuma laki-laki bodoh yang membiarkan kamu dalam keadaan seperti ini” balasnya yang sukses menghangatkan hatiku.
“Makasi kak, tapi sekarang aku mau pulang. Maaf udah ngulur waktu kakak untuk pulang dan justru nungguin aku nangis”
“Hahahaha kamu lucu deh. No problem. Oh iya, kamu udah tahu kan aku siapa? Hehehe ya, kalo tadi kamu dengerin waktu aku memperkenalkan diri”
“Yaudahlah kak Deva masak kapten basket sendiri gak tahu? Malu-maluin banget aku. Cukup dengan tertangkap basah nangisin pacar orang kak, itu udah memalukan banget” ucapku dengan pandangan menerawang.
“Kita memang gak pernah tahu dengan siapa kita akan jatuh cinta dan bagaimana cinta kita nantinya. Tapi, setidaknya kita harus bersyukur bisa mencintai seseorang yang dianugrahkan Tuhan untuk kita lihat. Jadi jangan pernah menyesal suka sama Galang. Itu hak kamu kok ” balas Kak Deva yang saat ini sudah duduk disampingku. Aku memaksakan diri untuk tersenyum. Bukan terpaksa sih, tapi ini memang benar-benar tulus dari hatiku. Kata-kata kak Deva tadi menghangatkan hatiku. Rasanya separuh beban yang tadi menjepitku perlahan terangkat.
                        Kami bercakap-cakap kira-kira setengah jam. Kak Deva orangnya asik. Dia benar-benar seperti kakakku sendiri yang selalu aku harapkan kehadirannya. Dia telah membuka mataku bahwa jatuh cinta itu memang tak bisa direncanakan, namun harus kita nikmati manis dan pahitnya.  Jam menunjukkan pukul enam. Waktu yang memang sudah telat untuk anak seusiaku pulang kerumah ditambah bengkak akibat menangis tadi. Namun kak Deva menawarkan bantuan untuk mengantarku pulang dan merancang beberapa kalimat agar meyakinkan orang tuaku.

                        Setelah ini aku tak tahu apakah aku berhenti untuk mencintai kak Galang atau tetap menaruh hati kepadanya. Apa aku mencoba mencintai orang lain saja ya? Aku tak mau nantinya seperti punuk merindukan bulan. Toh masih banyak laki-laki diluar sana yang mau menerima aku apa adanya. Jika aku selalu berharap akan sosok kak Galang, maka yang aku dapatkan hanyalah kesakitan. Ya, aku harus mencoba memulainya dengan orang lain. Mungkin kakak yang sedang memboncengku inilah orangnya. Kita tunggu saja nanti. Yang jelas Senja yang aku kira menyakitkan ternyata adalah awal kebahagiaanku. Di Batas Senja sepertinya aku telah menemukan penggantinya.

END

Cerpen by : Irma Arnika

Jumat, 03 Oktober 2014

First Impression - Ketika Aku Melihatmu



First Impression
Ketika Aku Melihatmu

                        Waktu terus berjalan seakan tak peduli dengan harapan yang masih memanggil-manggil untuk terpenuhi. Matahari tetap melaksanakan tugasnya untuk menerangi dunia, pun dengan angin yang masih setia membelai setiap insan yang sedang melewati hari-harinya. Terlihat diatas sebuah dahan yang kurus, sepasang burung merpati sedang memadu kasihnya, membuatku tersenyum melihatnya.
                        Memory itu berputar kembali, menitik beratkan pada seorang lelaki yang telah menggoreskan sebuah rasa yang aneh dihatiku. Ia telah membuka sebuah pintu baja yang telah ku tutup dan kubuang kuncinya entah kemana.  Namun ia seperti tukang reparasi, yang siap sedia membuat duplikat kunci itu kapanpun aku mau. Dia, laki-laki yang aku temui beberapa minggu yang lalu saat acara kampus.
“Maaf kak, toilet deket disini dimana ya? Aku males ke toilet jurusan” tanyaku saat itu.
“Maba ya? Toiletnya di sebelah kanan Sekber ya dik” ucapnya seraya menyunggingkan senyum yang membuatku tak bisa melupakan lengkungannya hingga saat ini.
“Iya kak, makasih ya”
“Sama-sama dik”
                        Sejak percakapan singkat dan tak penting itu, aku selalu memikirkannya. Aku selalu teringat senyumnya yang menawan ditambah sepasang lesung pipi yang menyempurnakan kerupawanannya. Setiap hari setelah malam itu aku selalu mencari tahu tentang dirinya. Bahkan ketika aku berpapasan dengannya, aku tak kuasa menahan rona dipipiku, walaupun aku sadar ia takkan pernah tahu semuanya.
                        Selalu aku berharap, sedetik saja ia mengingat tentang pertemuan kami yang singkat itu. Namun mengapa setiap kami berpapasan ia tak pernah menoleh kearahku? Bodohnya aku selalu mentapnya hingga tak sadar dengan keadaan disekelilingku. Apakah ini cinta? Ah ya, cinta yang bertepuk sebelah tangan, dan parahnya aku hanya si Screet Admier yang tak berani melakukan apapun untuk cintaku, aku terlalu pengecut untuk memulai terlebih dahulu. Bisa sajakan aku mulai menyapanya setiap kali kami berpapasan? Namun kenyataannya, ketika kami berpapasan aku hanya bisa diam terpaku menatap kepergiannya.
“Kamu jangan cuma berani liat dia dari jauh aja dong Wis, kapan mau kenalnya kalo cuma jadi Screet Admier kayak gini? Nanti dia disamber orang duluan loh!” ucap Sita dengan menggebu-gebu. Ya, aku tahu bukan maksudnya meremehkanku, namun dia berusaha menyemangatiku agar mau mengubah mainsetku dalam mengagumi lelaki itu.
“Aduh Ta, bukannya aku gak mau. Aku pingin banget malah, tapi apa aku berani? Apa dia gak akan Ilfeel kalo aku nyapa dia duluan? Ah, gak deh aku takut” Balasku dengan ucapan penuh keraguan.
“Ya, terserah sih. Tapi jangan nangis kalo besok tiba-tiba dia gandeng perempuan lain” ancam Sita yang sukses membuat khayalanku berkelana kehal-hal yang tak pernah aku impikan tersebut.
“Hah? Jangan dong! Aku masih pingin bebas naksir sama dia tanpa mikirin dia punya pacar atau enggak. Emang sih aku egois, tapi selama aku belum tahu dia udah ada yang punya atau belum, gak apa-apa kali ya aku menghayal bisa jadi pacarnya? Hahaha” jawabku sambil berusaha mencairkan kegundahan hati yang tiba-tiba saja menyerangku.

                                                                        ***
                        Hal yang selama ini aku takutkan akhirnya terjadi. Kabar yang tak pernah ingin aku dengar sampai juga ketelingaku. Kau tahu? Sakit rasanya ketika orang yang selalu kau harapkan mengisi kekosongan hatimu telah mengisi hati orang lain. Rasanya seperti tertusuk sebilah belati yang tajam, menghujam tepat dijantungku. Apa aku terlalu berlebihan menyukai seseorang? Padahal logikanya kita tak pernah salah dalam mencintai seseorang.
                        Ia telah dimiliki oleh perempuan yang beruntung itu. Awalnya aku hanya mendengar selentingan-selentingan yang aku anggap hanya angin lalu. Namun, ketika aku menuju tempat parkir yang akhir-akhir ini menjadi tempat favoritku untuk mengintainya, aku menemukannya tengah bergandengan tangan dengan perempuan itu. Tak sengaja aku mendengar percakapannya yang semakin meremukkan hatiku.
“Aku sayang kamu bi” ucapnya jelas
“Aku juga sayang kamu bi” balas perempuan itu.
                        Dadaku terasa sesak. Air mata terus mendesak ingin keluar dari sarangnya. Berusaha kutahan sekuat aku bisa agar tak tumpah didepannya. Saat ia pergi, semuanya luluh bersamaan dengan luka dihatiku. aku memang bukan siapa-siapa untuknya. Ya, aku mengerti. Namun rasa ini sudah dipuncak dan tak terbendung. Aku telah membiarkannya berkembang padahal aku tahu resiko yang akan aku hadapi.
                        Pertemuan pertama dengannya telah membawa kesan yang mendalam untuk hidupku. Walaupun ia tak pernah tahu tentang perasaanku, aku sangat bahagia bisa mencintainya. Cukup bagiku dengan melihatnya dari jauh tanpa bisa menyentuhnya. Aku tak pernah menyesal mencintainya. Dia tetaplah lelaki yang kupuja, lelaki yang telah membuat hari-hariku lebih berwarna. Harapan itu hingga kini masih ada, aku selalu berharap ia tahu tentang perasaanku, cukup itu jika aku tak bisa memilikinya.

END


Cerpen By: Irma Arnika